Sri Wahyuni, 13, anak kedua pasangan suami istri Kayat dan Sumeh warga RT 18, RW 03, Dusun Bungarum, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, memiliki kebiasaan aneh.
Gadis yang semestinya duduk di bangku SMP ini, suka makan tanah dan ubin yang ada di sekitarnya. Kendati demikian, dia tak menunjukkan gejala-gejala sakit akibat makan benda yang tak layak dikonsumsi itu.
Menurut ibunya, Ny Sumeh kebiasaan buruk anaknya terjadi sejak usianya tujuh tahun. Awalnya dilakukan saat Sri berada di rumah sendirian. Namun, lama kelamaan Sri tak takut makan tanah atau ubin di depan banyak orang. Bahkan, rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu, lantainya yang disemen, terdapat belasan lubang, karena dimakan oleh Sri.
Biasanya Sri mulai mencongkeli lantai rumahnya untuk dimakan saat dia ditinggal pergi oleh orangtuanya untuk mencari rumput yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Kebiasaan Sri makan tanah seperti halnya orang normal makan nasi. “Kalau makan tanahnya tidak sedikit-sedikit. Lumayan banyak karena cara makannya sama ketika anak minta makan nasi,” terang Sumeh kepada Surya.
Lebih jauh Sumeh yang kini sudah menjanda ini, menjelaskan, anak keduanya itu awalnya sehat seperti anak-anak lainnya. Namun, sejak kena panas tinggi ketika masih berusia dua tahun, anaknya yang dulu bisa memanggil bapak dan ibu, mendadak tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Namun demikian, dia masih bisa memahami setiap pembicaraan orang.
Seiring dengan hal itu, kebiasaan buruk makan tanah muncul. “Maunya, saya menghentikan anak saya makan tanah. Tetapi, apa boleh buat, saya tak bisa karena tak memiliki cukup biaya,” terang ibu yang bekerja sebagai buruh gembala kambing ini.
Kehidupan Sumeh memang sangat sederhana. Di rumah berdinding anyaman bambu yang penuh lubang, perempuan ini hidup bersama anak pertamanya Panji, 21, dan Sri Wahyuni, 13. Panji putus sekolah kelas empat SD. Setiap hari, Sumeh dan Panji selalu mencari rumput di hutan sebagai nafkah. “Kerjanya hanya ke hutan, kadang menanam kacang-kacangan, kadang merumput untuk memberi makan tujuh kambing milik orang di belakang rumah,” tuturnya.
Sumeh mengaku sudah ada yang menawari membantu mengobatkan Sri ke RSU Dr Soetomo Surabaya, namun dia keberatan. Alasannya, dia tak memiliki biaya untuk hidup selama perawatan anaknya di rumah sakit. Selain itu, dia juga kebingungan jika harus di rumah sakit, karena selama ini dia lebih mengenal hutan daripada kota. surya
Gadis yang semestinya duduk di bangku SMP ini, suka makan tanah dan ubin yang ada di sekitarnya. Kendati demikian, dia tak menunjukkan gejala-gejala sakit akibat makan benda yang tak layak dikonsumsi itu.
Menurut ibunya, Ny Sumeh kebiasaan buruk anaknya terjadi sejak usianya tujuh tahun. Awalnya dilakukan saat Sri berada di rumah sendirian. Namun, lama kelamaan Sri tak takut makan tanah atau ubin di depan banyak orang. Bahkan, rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu, lantainya yang disemen, terdapat belasan lubang, karena dimakan oleh Sri.
Biasanya Sri mulai mencongkeli lantai rumahnya untuk dimakan saat dia ditinggal pergi oleh orangtuanya untuk mencari rumput yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumahnya. Kebiasaan Sri makan tanah seperti halnya orang normal makan nasi. “Kalau makan tanahnya tidak sedikit-sedikit. Lumayan banyak karena cara makannya sama ketika anak minta makan nasi,” terang Sumeh kepada Surya.
Lebih jauh Sumeh yang kini sudah menjanda ini, menjelaskan, anak keduanya itu awalnya sehat seperti anak-anak lainnya. Namun, sejak kena panas tinggi ketika masih berusia dua tahun, anaknya yang dulu bisa memanggil bapak dan ibu, mendadak tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Namun demikian, dia masih bisa memahami setiap pembicaraan orang.
Seiring dengan hal itu, kebiasaan buruk makan tanah muncul. “Maunya, saya menghentikan anak saya makan tanah. Tetapi, apa boleh buat, saya tak bisa karena tak memiliki cukup biaya,” terang ibu yang bekerja sebagai buruh gembala kambing ini.
Kehidupan Sumeh memang sangat sederhana. Di rumah berdinding anyaman bambu yang penuh lubang, perempuan ini hidup bersama anak pertamanya Panji, 21, dan Sri Wahyuni, 13. Panji putus sekolah kelas empat SD. Setiap hari, Sumeh dan Panji selalu mencari rumput di hutan sebagai nafkah. “Kerjanya hanya ke hutan, kadang menanam kacang-kacangan, kadang merumput untuk memberi makan tujuh kambing milik orang di belakang rumah,” tuturnya.
Sumeh mengaku sudah ada yang menawari membantu mengobatkan Sri ke RSU Dr Soetomo Surabaya, namun dia keberatan. Alasannya, dia tak memiliki biaya untuk hidup selama perawatan anaknya di rumah sakit. Selain itu, dia juga kebingungan jika harus di rumah sakit, karena selama ini dia lebih mengenal hutan daripada kota. surya